Loathe

Sheets #1 



Loathe


/lōT͟H/


verb

feel intense dislike or disgust for. 

Loathe; benci
merasa tidak suka atau jijik.

© 2020️ 
Galagalxy


Sedari awal kehadirannya memang meresahkan, meski sebesar apa aku tak menghiraukan. Sebab kenyataannya aku memilliki 4 alasan yang cukup untuk membenci dia dan membawaku berakhir pada kehancuran.

It's a cliche love story,
from two teenager who's still try 
to figure out the things;
include the feelings

The girl, who hates him
And the boy, who loved her



reason 1;
look

        Hampir semua orang di sekitarku mengenal pemuda itu, berwajah tampan, kulit bersih, hidung tinggi, bibir penuh, serta postur tubuh sempurna meski tidak seberapa tinggi. Banyak manusia di tempat tinggalkuㅡkhususnya wanitaㅡterobsesi pada pemilik nama Jimmy Parker akhirnya.

        Dia memiliki semacam sihir tersendiri yang bisa menarik banyak perhatian. Seperti arus magnet berskala besar yang kapan saja mengisap banyak benda bermaterial tembaga. Setidaknya itu yang terlihat dan bercokol di pikiranku tentang dia.

        Tetapi tentu tidak denganku. Sejak awal aku melihatnya pindah ke Brooklyn dan belajar di sekolahan yang sama, kehadirannya memang sudah meresahkan. Gaya arogan di balik bentuk wajah asianya yang khas, serta pembawaannya berlagak hangat pada seluruh orang. Aku yakin dia sengaja melakukan itu, ingin terlihat merendah agar dapat meloncat sangat tinggi di udara.

        "Jillian, kau tidak ingin ke lapangan?" Ucap salah satu teman-tidak-dekat kelasku, saat menemukan arah kakiku berjalan berlawanan dengan kebanyakan anak (yang lagi-lagi wanita menjadi mayoritasnya). Aku tak menggubrisnya dan terus berjalan, sementara dia melanjutkan kalimatnya di ambang pintu kelas.

        "Katanya, si anak korea ada disana."

        Tanganku terangkat rendah, menanggapi malas. Tidak terkejut, karena salah satu teman-tidak-dekat kelasku itu juga bagian dari barang bermaterial tembaga. Dia mungkin mulai melangkah ke arah koridor mengarah lapangan, di belakang sekolah, setelah mengerti jawaban dariku. Sedangkan aku terus berjalan menuju lab untuk menunggu pelajaran selanjutnya.

        Anak baru itu bahkan menyita seluruh atensi rakyat sekolah sampai mendapat capnya sendiri. Padahal anak baru yang dulu-dulu juga tidak diperlakukan seperti apa yang dia terima. Ini karena sihirnya, meski tidak tahu letaknya pasti. Tapi sebagian besar anak, wajah yang katanya tampan itu yang menarik.

        Maka aku bertaruh dengan diri sendiri waktu itu. Jika popularitasnya tidak menyurut selama dua minggu, aku akan membelikan mama pizza. Dan kupikir aku akan menang, mengingat wajar jika hal baru bisa mencuri banyak peminat.

        Dua minggu sesuai waktu yang aku janjikan, Jimmy masih sama arogan dan populer seperti awal dia datang. Bertingkah seperti cerita imajinasi dalam khayalan para wanita. Kepopulerannya bahkan semakin melejit. Membuatku harus mengeluarkan uang jajan dan kalah bertaruh dengan diri sendiri, seperti pecundang.

        Detik itu, aku memutuskan untuk mengabaikan Jimmy. Tak acuh pada semua hal tentangnya untuk menghindari berurusan dengan si korea itu. Namun ketika aku berjalan di koridor yang sedang sepi sehabis dari toilet, dia menabrakku. Kami jatuh tak jauh, setelah sedikit terpental saking kerasnya benturan. Sebelumnya dia berlari sangat kencang memang dan mungkin tidak melihat depan.

        Kepalaku mengenai tulang selangkanya. Berdenyut hebat sampai wajahku tertekuk meringis kesakitan. Pasti ada benjolan yang membekas akibat memar; seperti Tom yang dipukul Jerry tepat di kepala, menimbulkan benjolan merah nan tinggi. Walau benjolan yang kudapat tidak akan setinggi itu juga.

        Hingga aku terlambat menyadari bahwa Jimmy adalah pelakunya. Sebelum itu aku masih meringis sakit sambil menegakkan tubuh yang hampir jatuh melumah jika saja tanganku tidak menyangga lantai. Sementara dia juga mendesis memegang tulang selangkanya, ketika aku melihat.

        Detik itu seakan pening hilang. Keterkejutanku mengambil andil semua, dan kekesalan dalam hati mendominasi selanjutnya. Dia selesai mengaduh meski sebelah tangannya belum juga turun dari tulang selangkanya. Netra gelap warna cokelat-kehitaman itu menemukan mataku, sedangkan perempuan tertabrak ini terus diam merutuk sebal dalam hati.

        Melihat Jimmy hanya akan mengingatkanku pada seorang pecundang yang bertaruh tidak penting. Terlebih tidak ada yang tahu soal itu, seolah semakin semesta pun turut berpihak pada Jimmy. Padahal awalnya itu murni hanya permainan. Karena kukira sesuatu yang baru pada akhirnya juga ditinggal, tergantikan oleh yang lebih baru lagi. Tapi nyatanya dugaanku salah.

        Lalu dia menabrakku, memasang raut dingin di balik ringisannya kemudian. Seolah menjadi Jimmy lain nan tak hangat seperti yang biasa terlihat. Membuatku berpikir jika dia adalah orang yang pemilih. Dan tentu saja itu memperburuk suasana hatiku. Sempurna, mendapat dua kekesalan dalam satu hari, double kill.

        Aku bangun perlahan, mengesampingkan sakit yang sedikit banyak menghilang. Tidak ingin berurusan dengan si sipit, apalagi berlama-lama memandangnya di keheningan masing-masing; aku yang datar karena kesal, dan Jimmy yang dingin karena... tidak tahu.

        "Hei," ucap Jimmy, ketika kakiku langsung melenggang pergi beberapa langkah, tak lebih dari lima; mengabaikan Jimmy yang masih tersungkur diam sebelumnya. Lalu kakiku berhenti melangkah, sekadar merespon panggilannya meski tidak dengan kata. Berdiri membelakangi Jimmy sambil menunggu kalimat lain yang akan dia ucapkan, karena tidak mungkin jika dia hanya memanggil tanpa tujuan.

        "Maaf."

        Aku memastikan padanya jika aku memang tidak apa-apa, meski bisa saja aku menjelaskan secara detail plus merutukinya habis-habisan. Namun aku tahu itu akan memakan waktu lama dan... percuma. Lagipula aku juga tak ingin berurusan dengan Jimmy. "Tidak apa."

        Semua orang juga pasti akan sama, itu hal yang wajar ketika seseorang meminta maaf setelah melakukan kesalahan, meskipun ada juga yang tidak tahu diri. Dan sebenarnya tanpa meminta maaf pun aku bisa mengabaikan kejadian itu begitu saja. Melupakan semua jauh lebih baik daripada mempersulit diri dengan kekesalan sepihak. Anggap itu hanya angin buruk yang tak sengaja lewat.

        Aku pergi meninggalkan Jimmy yang barangkali belum berdiri. Aku tidak tahu, responku tadi bisa dibilang wajar atau tidak, untuk seukuran korban tabrak oleh pemuda terkenal seperti itu. Namun ada hal lain yang mengalihkan pikiranku dari sekadar memikirkan respon. Satu hal.

        Mata sipit berwarna coklat gelap, bibir penuh yang selalu berbicara dengan suara seperti madu. Tubuh ideal tidak begitu tinggi dibanding anak lelaki pada umumnya, juga sikap hangat menguap dimana-mana. Semua itu.

        Penampilannya yang membuatku muak walau dia memang menarik. Dan ketika dia memberikan tatapan dingin serta sikap yang lebih dari ala kadarnya itu, tanpa sadar mulai membuatku membencinya.

-⸙loathe.



reason 2;
talent

        Skenario semesta mempertemukan kami kembali dalam satu klub yang sama, setelah sekian lama aku menghindarinya betul-betul; klub musik. Semua anak di dalamnya bercampur, datang dari kelas dan tingkatan yang berbeda. Dan semua klub sekolah mulai merekrut pada akhir tahun pertama. Berhubung Jimmy anak baru, meskipun dia berada di tahun akhir, maka dia terlambat bergabung.

        Seperti biasa, aku memilih menghilangkan presensi Jimmy dari hadapanku. Fokus pada kegiatan yang berlangsung lebih berguna daripada menghebohkannya. Namun itu tidak lagi, ketika pembimbing meminta gilirannya untuk menunjukkan bakat yang dimiliki. Dia mulai, membunyikan suara tenor madunya sangat lembut. Matanya yang terpejam sembari terus bernyanyi juga tak luput dari pandanganku.

        Hanya secuplik, tapi lancang. Sebab netraku menyaksikannya dalam diam. Bahkan ketika bocah itu selesai dan tersenyum pada guru, mataku belum juga berhenti memandang. Beruntung aku sadar, bahwa semua orang pasti memiliki keahlian yang serupa dalam kelas ini. Maksudku, tidak hanya Jimmy saja yang memiliki suara indah.

        Dan ya, aku menyudahi pandanganku. Meneguhkan hati yakin masih ada yang lebih indah dari suaranya di klub. Sehingga tidak ada hal darinya yang bisa kupedulikan. Lagipula dia bukan juga artis, apalagi dewa.

        Hingga akhirnya giliranku datang. Di saat itu aku berjalan ke arah piano yang tersedia di ruang klub. Lantas mulai mengalunkan sebuah melodi klasik yang lazim didengar; salah satu milik Vivaldi. Di balik tuts yang berbunyi, terselip keinginan agar bisa melupakan kebodohanku yang kaget karena suara merdu Jimmy.

        Pertemuan berikutnya sebagai anak baru klub musik, banyak yang semakin mengagumi Jimmy. Terlebih pilihannya bergabung ke dalam musik menjadi alasan magis lain yang digunakan lagi-lagi wanita untuk menjadi bahan pembicaraan. Tidak sedikit pula anak klub berusaha mendekati Jimmy tiap kali kegiatan klub berlangsung; baik itu wanita ataupun lelaki.

        Hanya kurang dari lima orang di klub yang bertindak diam, mungkin. Yang pasti salah satunya adalah aku. Lebih asik memalingkan wajah menatap langit di luar jendela, bergelut dengan benakku sendiri daripada menganggap Jimmy dalam satu kelas yang sama. Bahkan hampir semua rumor yang terdengar di klub hanyalah tentang Jimmy.

        Mulai dari suaranya, jejak bermusiknya, sampai karya-karya yang dia produksi sendiri. Semua menyambangi telingaku dan aku memilih mengabaikannya. Meski jauh di dalam hati terbesit keinginan tidak percaya. Kalau pun itu benar, tetap saja tidak ada yang berubah dari pandanganku tentang Jimmy.

        Aku membenarkan posisi duduk karena kelas dimulai. Hal yang kudapati pertama kali saat pembimbing masuk dan berjalan ke arah meja; sebuah laptop yang dia bawa. Jarang-jarang guru membawa barang lain, selain hanya beberapa buku dan kertas partitur untuk melatih biasanya.

        Kemudian dia menyambungkan laptop dengan speaker yang ada pada ruang klub. Sebuah lagu mengalun sangat asing kemudian. Namun tak bisa kubantah jika selera pembimbing sangat baik. Terbukti lagu itu bisa membuatku benar-benar terbuai di tiap melodinya.

        Seakan baru kali ini sebuah lagu bisa menggema hingga menggetarkan hati. Dan semua manusia di kelas pun tahu makna liriknya. Itu lagu tentang cinta palsu, yang tidak akan pernah bisa tergapai, yang bisa membuat sang pecinta menjadi sangat bodoh dan menyedihkan.

        Aku tidak yakin bisa mendeskripsikan lagu itu secara normal. Susah untuk tidak menjadi berlebihan dalam menguraikan apa yang kurasa ke dalam kata-kata. Yang jelas aku tenggelam dalam lagu itu, sampai-sampai lupa cara kembali ke permukaannya sekadar mengambil udara. Terlalu dalam membayangkan yang terjadi di balik bait liriknya. Bahkan sampai lagu itu berhenti perasaannya masih tertinggal. Mengalun dalam dimensi lain, dimana hanya aku sendiri yang mengerti.

        "Barusan adalah karya milik Jimmy Parker. Semua unsur di dalamnya murni buatan Jimmy dengan teman-teman bermusiknya dulu sebelum pindah ke sekolah ini," ujar pembimbing.

        Membuatku terkejut bukan main menatap bocah yang sedang dibicarakan itu. Sejenak aku tak tahu harus bereaksi bagaimana, selain hanya membeku di tengah kegaduhan tepuk tangan kagum yang diberikan untuk Jimmy. Pemuda itu juga melemparkan senyum hangat pada semua, namun matanya tidak melewatiku.

        Satu lagi kekesalan datang, mengambil kuasa dan menyuruhku untuk membencinya. Mulai dari suara merdu hingga keterampilannya mencipta lagu; keduanya hanya akan membawaku pada yang lebih parah. Ya, aku benci dia yang hampir menyihirku karena lagunya.

        Lagu emosional itu hampir saja menyulapku menjadi sebuah barang bermaterial besi. Lantas menarikku pada kehidupan Jimmy sebagai magnet berdaya tinggi. Lagipula aneh, seperti aku melihat lirik lagunya berputar-putar di kehidupan Jimmy.

-⸙loathe.


reason 3;
weird hobby

        Rasanya hanya wanita bodoh saja yang masih terobsesi untuk mendapatkan bocah itu. Sebab dengar-dengar dari gosip murahan yang beredar, Jimmy tidak pernah memiliki sebuah hubungan. Ia cenderung lebih suka berkencan semalam. Sudah mirip seperti one night standㅡtentu jika kalian tahu hal ituㅡbedanya ini bukan soal seks, tapi menghabiskan waktu 'berjalan-jalan' seperti remaja pada umumnya.

        Jadi sudah lumrah jika Jimmy terkenal sering berjalan dengan wanita yang berbeda-beda. Mungkin termasuk wanita yang tak sengaja kulihat saat selesai membeli peralatan seni waktu itu. Mereka keluar dari sebuah kafe dengan tangan si wanita memeluk lengan Jimmy dan sesekali dia tersenyum lembut memperhatikan wanita di sampingnya yang asik berbicara. Mungkin masih banyak juga wanita yang tak kuketahui. Namun siapa yang peduli.

        Lagipula mustahil lelaki yang menjadi pusat perhatian seperti Jimmy tidak pernah memiliki pacar. Sekalipun dia bukan orang berpengaruh yang patut diikuti, tapi itu tidak masuk nalar sama sekali, kawan. Bagiku semua yang dilakukan Jimmy adalah hal paling menggelikan yang pernah ada. Tubuhku sampai selalu bergidik geli karena segala ulahnya.

        Lagipula aku tidak mengerti dengan perasaanku sendiri, seakan selalu berkhianat. Saat aku merasa terganggu, selalu ada saja cara untuk bisa memperhatikan Jimmy. Namun saat aku iba, disitulah muncul kebencian yang menyuruh untuk abai dan tak acuh. Padahal yang kuingin hanya keteguhan tanpa terus menjadi ambang.

        Jika benci, benci saja.

        Jika tidak, maka jangan menghiraukannya. Hanya itu.

        Namun sebuah pengilhaman aneh datang. Menyuruhku berbuat hal berkebalikan untuk mendapatkan apa yang kumau. Maka jika aku ingin membenci Jimmy, artinya... cinta untuk benci. Dan aku memutuskan untuk mendekatinya.

        Semua anak klub musik buru-buru berbenah, lantas menghambur keluar dan membaur dengan yang lain. Tidak seorang tersisa, selain aku yang sedang merapikan klubㅡkarena hari ini jadwal piketkuㅡpun Jimmy yang ternyata masih mengemas barang-barangnya ke dalam tas.

        "Kau masih disini?" ujarku tanpa berpikir dua kali. Menatapnya sambil mulai memindahkan stan partitur ke sudut ruangan. "Bisa bantu aku?"

        Wajar jika aku meminta bantuannya, karena aku ingin cepat kembali ke rumah. Tanpa menjawab kalimatku, Jimmy langsung mengerjakan hal yang sama. Hingga giliran bangku bermeja yang harus dilipat dan disingkirkan ke samping, setelah semua stan partitur dipindahkan. Dan aku cukup terkejut melihat Jimmy melanjutkan kegiatannya tanpa kupinta lagi. Ok, dia memang pribadi yang baik.

        Namun sejauh kami bersama, perawakan dingin tidak pernah terlepas dari pandanganku. Anehnya dia akan terlihat sangat riang di luar sana, namun selalu berbeda jika bersamaku. Dan tanpa sadar kami bisa bercerita walau lebih banyak canggung.

        "Jadi artinya, kau menggadaikan cintamu?" Aku tertawa iba tanpa memandangnya. Membubarkan suasana serius yang terjadi. Sebelumnya Jimmy menjelaskan makna lagunya atas pintaku, yang lagi-lagi terdengar konyol, walau bukan sekadar rumor lagi yang kutertawakan. Ini fakta yang keluar dari bibir Jimmy sendiri. Kulihat ia terkekeh pula. Entah mungkin setuju denganku bila hal itu sangat konyol, lebih tepatnya hidup Jimmy memang konyol.

        "Kupikir pemuda sepertiku harusnya tengah asik merasakan cinta, bukan?" Sekali lagi ia tertawa kecil di sela ucapannya. "Tapi aku malah memilih bekerja keras."

        "Well... tidak ada yang salah, Jim. Tidak juga pilihanmu. Itu kehidupanmu sendiri, dan kau berhak melakukan apa saja." Jimmy tak menggubris, dan malah membuatnya terlihat menyedihkan di mataku. "Tapi jangan lupa bahagia. Setiap orang perlu hal itu."

        Kemudian Jimmy berhenti tanpa memandangku. Seperti seseorang yang membeku saat laser es mengenainya. Lagi-lagi terlihat menyedihkan. Sampai keheningan tercipta, kecanggungan lain mengisi. Seolah perbincangan kami sudah mencapai titik yang tidak bisa dilanjutkan lagi. Sampai pada pertemuan klub yang lain, kami menjadi sedikit dekat sejak memutuskan untuk terbuka satu sama lain. 

        "Jadi, kau sungguh tak pernah punya pacar?" tanyaku padanya. Ia terlihat sangat berubah-ubah tidak dapat dipastikan. Terkadang sangat hangat dan menyenangkan, namun menjadi dingin dalam sekejap yang lebih sering ditunjukkan. Seolah Jimmy memang tak ingin terlalu dekat denganku. Membangun batas yang tinggi sebelum aku memasuki area terdalamnya.

        "Kenapa tidak mencoba untuk memulai hubungan?" tanyaku lagi. Jimmy tertembak laser es lagi, membeku. Hal yang selanjutnya bisa kutebak, pasti dia akan bersikap dingin. Batas yang dia bangun itu batas tentang kehidupan cintanya, dan Jimmy benci jika aku berusaha mengoyaknya terus-menerus.

        Namun seolah microwave melelehkan es pada Jimmy. Ia menjadi hangat seperti saat bersama teman-temannya. Hal yang sangat langka karena dugaanku meleset. Terlihat bocah itu menghadap ke arahku dengan tersenyum dibuat manis.

        "Kau tahu aku tidak bisa, kan?"

        "Aku kan bilang 'coba'."

        Jimmy berpaling dari wajahku kemudian. Membuka roti kemasan yang dia bawa sambil menunggu pertemuan klub dimulai. Jimmy membiarkan kalimatku tidak terjawab lagi. Terhitung sudah lebih dari ratusan kali, mungkin. Tentu saja hal itu membuatku gemas. "Kau tidak ingin mencobanya denganku?"

        Terdengar murahan memang, menawarkan diri cuma-cuma. Tapi aku tidak menyesalinya. Obsesiku lebih besar untuk dipenuhi, daripada harga diri yang terlihat rendah hanya karenaㅡbisa dikatakanㅡaku menembak bocah itu.

        Lantas dia menghadap padaku lagi, kali ini sikapnya menjadi dingin seperti biasanya. Cukup menebak melalui wajahnya yang berubah sekaku kayu. Aku tahu mungkin Jimmy sudah memberi label 'murahan' pada jidatku di dalam imajinya.

        "Tidak," jawabnya yang tidak membuatku terkejut, karena sudah bisa diprediksi dari awal. "Tidak denganmu."

        Langit menjatuhkan diri tepat di atasku bersama banyak isinya, termasuk angan-angan dari manusia sedunia. Terasa sangat sakit walaupun aku tak tahu pasti dimana letaknya. Ucapan terakhir Jimmy, secara tersirat berkata jika ia ingin mencoba memiliki hubungan, tapi tidak denganku.

        Aku mulai menyesal menggunakan cinta sebagai jalan untuk membenci Jimmy. Lebih parah lagi, walau harga diriku melawan agar jangan sampai termakan ulah sendiri. Namun tetap saja, ada sesuatu dalam diri yang mulai berkhianat. Membelot pada Jimmy.

        Si korea yang manis, setidaknya itu yang terkenal di kalangan wanita. Namun bagiku, Jimmy tak lebih dari seorang pemuda yang memiliki hobi aneh. Yang suka bertingkah manis untuk membuat wanita mengerjarnya.

        Pertama, dia memang suka menghabiskan waktu bersama wanita, bahkan tanpa berpacaran. Kedua, dia memang manis namun menyebalkan jika denganku. Ketiga, aku benci harus mengatakan ini. Dia menolak bantuanku untuk memulai hubungan bersama.

-⸙loathe.



reason 4;
him self

        Setelah sekian lama tidak berbicara lagi, aku melihat Jimmy berdiri menyandar pada dinding koridor yang sepi, sambil meminum minuman kaleng yang ia genggam. Tidak ingin membuang banyak waktu, Aku menghampirinya dan dia menyadari itu.

        "Aku hanya ingin membencimu, Jim. Apa susahnya, sih, membantuku sekali saja?" Yang kuingin hanyalah selesai dari semua masalah klise ini. Namun yang kuterima malah sebaliknya. "Tapi aku tidak ingin membencimu."

        Sedari awal dia terlihat sangat tak bersahabat memang. Rasanya aku hanya ingin menarik rambut bocah itu lalu menyeretnya berkeliling sekolah. Lantas membuangnya seperti sampah saat sampai di lapangan, karena bocah super arogan itu selalu menyebalkan lagi hanya saat berhadapan denganku.

        "Lalu bagaimana denganku, huh!?" Aku menatap punggung Jimmy menantang, saat dia pergi begitu saja sebelumnya. Meninggalkanku yang marah dan tak percaya jika Jimmy yang mereka kenal, sebenarnya suka sekali mempermainkan wanita.

        "Kau menceritakan semuanya padaku, aku jatuh. Kemudian ketika aku hanya ingin membantu, kau menolak." Jimmy tidak bergeming, masih berdiri diam memunggungiku dengan jarak. "Tidak adil, kau begitu dingin hanya padaku dan aku... menderita sendirian."

        Ada jeda setelah aku mengucapkan kalimat terakhir. Sesak di dalam sana semakin merebah luas mengisi tiap relung yang kosong. Kenyataan bahwa aku memang menderita karena semua tentangnya, tak bisa dielak lagi.

        "Setidaknya sakiti aku supaya aku bisa melepasmu, Jim."

        Jimmy tetap berdiri membelakangi. Memilih tidak memandangku yang sekuat tenaga menahan iba pada diri sendiri agar tidak terlihat menyedihkan. Jauh di dalam hati aku sangat berharap dia bisa mengerti dan mengubah egonya untuk bisa bekerja sama. Tapi Jimmy tetap Jimmy. Ia selalu handal menjatuhkan perempuan setelah membuat mereka mengejarnya, seperti meletakkan mainan yang bosan digunakan, begitu saja.

        "Aku tidak ingin kehilanganmu," ucapnya. Kemudian berjalan pergi; meninggalkanku yang tertawa bodoh. Amarah di dalam diri membumbung tinggi. Bersatu mencapai puncak, namun tak bisa dikeluarkan dengan bebas.

        "Sial!!" Itu umpatan yang jelas, setidaknya untuk diriku sendiri. Namun, semesta kembali membawa Jimmy berada di hadapanku, seolah ingin memperbaiki kesilapannya yang membuatku menyalahkan diri sendiri. Jimmy memblokir jalanku saat melewati koridor sekolah, dengan sebelah tangannya yang tiba-tiba terulur menyentuh loker. Tubuh kami cukup dekat.

        "Punya waktu?" ujarnya sebagai pembuka. Belum sempat aku menjawabㅡbarang hanya berpikir saja, ia melepaskan blokiran tangannya dan menjawab pertanyaannya sendiri penuh percaya diri. "Ok, kau punya itu."

        Aku membuang napas malas, lantas berjalan melewatinya. Tapi tangan Jimmy sigap mencegah bahuku untuk pergi. "Kau tahu semuanya tentangku, Jill."

        Aku masih berdiri dengan tangannya di bahuku. Kami menghadap berlawanan arah dengan posisi yang sejajar dan aku masih menunggu sikap menyebalkan apalagi yang akan ia tunjukan.

        "Hanya kau yang tahu semua," ulangnya. Lolos membuatku sebal lagi. Jika Jimmy berharap aku bisa luluh kembali padanya, maka ia sudah salah menempatkan diri. Kubuang tangannya asal. Lalu pergi melanjutkan langkah kaki, tak peduli dengan Jimmy yang mungkin bisa membenciku lebih-lebih.

        "Jillian Rosevelt!" Namun teriakannya yang keras membuatku berhenti. Jimmy memanggil namaku, bahkan dengan marga di belakangnya. Jarang-jarang dia menyebut namaku meski kami berada dalam sebuah percakapan. Berpikir dia mengetahui nama lengkapku saja tidak pernah.

        Dan seolah mengulang kejadian yang sama dengan peran yang berbeda. Waktu itu aku yang berteriak dan sekarang Jimmy mengambil peran itu. Dunia memang serumit benang yang terbuntal menjadi satu, perlu kesabaran untuk membebaskan kaitan-kaitannya. "Ayo coba berpacaran!"

        "Tapi aku terlanjur membencimu." Rasanya seperti sedang menjungkir keadaan. Aku menang, dan dia kalah.

        "Terus kenapa? Kau sudah mendapatkan yang kau mau, bukan?" Terdengar langkah kakinya mendekat, cukup intens ke arah di mana kakiku berhenti melangkah. "Dan aku juga mendapatkan yang kumau."

        Mendadak situasi terasa menegangkan, hingga sedikit peluh muncul di wajahku. Jantungku pun berdetak cukup cepat mendengar ucapannya. Aku gugup. Jimmy berkata seolah tengah memegang kendali permainan.

        Hingga tubuhnya sudah berada di hadapanku, memblokir akses jalan kembali. Jimmy menurunkan pandangan padaku yang lebih pendek, memberi guratan wajah menyedihkan. Lagi, hatiku melakukannya lagi. Jatuh dalam rasa iba berkali-kali.

        "Kau pikir aku benar-benar ingin menjauhimu, bukan?" Aku sengaja tak melihat matanya yang bisa membuatku semakin lemah. Aku yakin dia menaruh banyak sihir di bagian itu. "Sama."

        Aku menatapnya dan menemukan pria itu tersenyum bodoh. "Ku pikir kau hanya bermain alibi untuk mendapatkanku juga, Jill; seperti yang lain."

        Aku benar-benar tidak mengerti dengan ucapannya. Sementara senyuman bodoh di bibir Jimmy semakin melebar menjadi tawa menyedihkan. "Tapi ternyata, kau tidak main-main dengan obsesi gilamu untuk membenciku."

        Jimmy meredakan tawanya yang menyedihkan. "Aku hanya ingin memulai saran yang kau beri, untuk tidak lupa bahagia. Dan aku bahagia saat bersamamu."

        Aku menghembuskan nafas besar, menahan diri dari kalimat menjijikkan itu. Lantas melirik Jimmy dengan ekor mataku, setelah sebelumnya sempat memalingkan wajah. Sekadar memastikan bahwa tidak ada unsur main-main di dalam ekspresi wajahnya. Karena aku memutuskan akan menyetujuinya.

        "Baiklah... mari kita coba," ucapku malas. Lagipula aku tak bisa lega jika tidak membantunya. "Tapi ini semua hanya untuk membantumu, tidak lebih."

        Kulihat Jimmy tertawa renyah walau tidak ada hal yang lucu. "Kau seperti nenek sihir."

        Setelah itu mengacak puncak kepalaku masih dengan senyuman yang lebar. Perasaan geli bertebaran di sekujur tubuh, sampai tanganku mampu membuang tangan Jimmy segera. Kemudian berjalan meninggalkannya.

        "Jadi..." celetuk Jimmy yang tiba-tiba menyusul di sampingku, dengan tangan yang tersimpan di kedua saku celananya. "Apa perlu aku kembali arogan untuk membuatmu mengejarku, princess?"

        "Jimmy Parker," ucapku. Berhenti berjalan seketika mendengar kalimat menjijikkan darinya. Lalu membuang napas cukup kasar, menatap Jimmy serius kemudian. "Aku akan berhenti membantumu jika kau berani mengatakan itu lagi."

        "Kalau begitu," Jimmy menjeda kalimatnya sambil melanjutkan langkah pelan. Aku pun turut berjalan namun dengan kecepatan yang sedikit lebih tinggi dibanding Jimmy, hingga menyusulnya sejajar. "I'm sorry, honey."

        Pupilku membesar seketika; buluku meremang semua; dan aku mendadak menyesal, tepat setelah Jimmy berbisik di balik suraiku saat dia menyadari aku berada di sampingnya. Tentu saja itu mengejutkan. "Ew... stop it, Jim!! 

        Lantas dengan kesal, kakiku mempercepat langkahnya sendiri untuk mendahului Jimmy yang terdengar tertawa sangat puas di belakang sana. Baik, aku ingin memuntahkan seluruh isi dalam perutku rasanya, sebab aku mulai alergi dengan Jimmy 'yang sok manis'. Dan apa yang tidak kuinginkan ternyata terjadi. Aku jatuh dalam ego sendiri. Aku benci Jimmy sepenuhnya. Ya, Jimmy yang membuatku mencintainya.

-⸙the end.



pernah ada di wattpad Gala ^^
coba lihat yang lain, yuk!

thanks for reading!
find me on wattpad :

Galagalxy

Komentar

Postingan Populer