Orang-Orang yang Tenang Terhadap Cinta
light essay
open to discuss
Kali ini aku
sepenuhnya sadar dan tidak akan menggunakan konsep fiksi ke dalam essay ini,
tentang pandanganku kepada beberapa orang yang tidak mengkhawatirkan cinta;
terlepas dari berbagai alasan dan gagasan atas pengalaman traumatik
masing-masing yang pernah mereka lewati. Aku punya deskripsi hipotesis tentang
hal ini. Barangkali orang-orang tersebut sedang sibuk mencari ketenangan dari
seluruh dinamika pengalaman cinta mereka yang kurang baik. Alhasil, tidak ada
waktu untuk sekadar memikirkan ‘di mana aku bisa menemukan pasanganku?’
sepanjang mereka tumbuh dewasa.
Seperti yang aku
tahu, ketenangan adalah sebuah kebutuhan bagi jiwa untuk menemani kondisi lain
seperti kegelisahan. Dalam hal ini, aku pikir kegelisahan telah sepenuhnya
menyelimuti pengalaman seseorang atas cinta mereka dalam waktu yang lama. Keluarga
yang disfungsional atau kegagalan berulang dalam hubungan heteronormatif,
adalah sebagian dari banyak pemicu yang menyebabkan seseorang menjadi haus akan
ketenangan dalam hal cinta-mencinta; tanda kutip, mereka jadi mengesampingkan
masalah itu.
Bahkan dalam kasus
yang lebih parah, pemicu-pemicu tersebut dapat terjadi berulang, berkombinasi,
sampai menyatu satu sama lain dan mengakibatkan masalah yang lebih serius. Pada
hal ini, aku berbicara tentang kaum homoseksual yang masih kuanggap hasil dari
masalah psikologis kehidupan mereka. Namun tak dapat dipungkiri, pada akhirnya
beberapa dari mereka juga menjadi sangat tenang terhadap cinta, seperti yang
kutemukan pada beberapa figur di media massa.
Sebenarnya, essay
ini aku tujukan untuk menulis beberapa kemungkinan sederhana pada seseorang
yang terlihat tidak memusingkan cinta. Sedikit pun aku tidak ingin membahas
lebih dalam tanpa ada pondasi kuat yang mendasarinya. Jadi, aku akan kembali
pada hipotesa subjektif yang sederhana, karena judul yang aku buat juga
terdengar fiktif; karena aku sendiri terinspirasi atas kekagumanku pada
orang-orang yang tenang terhadap kisah cinta mereka.
Beberapa orang yang
tinggal di kalanganku adalah orang seperti itu, dan setidaknya ada beberapa
ciri yang dapat kusimpulkan setelah beberapa kali berkomunikasi dan mengamati
mereka. Pertama, mereka lebih suka menyibukkan diri pada kegiatan yang positif.
Alasanku pada ciri yang ini sejalan dengan pemahamanku tentang sublimasi milik
psikologi Freudian. Singkatnya, mereka mengubah insting percintaan mereka ke
dalam bentuk yang lain; yang memiliki esensi sama dan dapat memberikan pemuasan
atas insting dasar mereka, yaitu percintaan.
Kedua, mereka
menghindari pertanyaan yang berkaitan tentang dirinya (apalagi perihal cinta).
Kalau yang ini, aku yakin mereka hanya ingin menekan pengalaman cinta yang
kurang baik sehingga tidak muncul lagi pada permukaan; dalam konsep psikologi
mungkin istilahnya adalah alam sadar. Barangkali mereka tidak ingin mengenang
dan merasakan kembali apa yang menjadi penyebab atas ketidak-ikutsertaannya
terhadap cinta. Setidaknya itu yang aku tangkap dari psikologi Freudian juga.
Ketiga, mereka juga
terlihat menghindar pada yang namanya hubungan. Aku tidak punya alasan kuat
untuk yang ini, namun yang kutahu mereka tidak ingin mendapat dan memperparah
pengalaman kompleks cinta mereka dengan kemungkinan-kemungkinan yang sejatinya
sangat jelas. Mereka hanya takut untuk memulai dalam bayang-bayang masa lalu
yang belum sembuh. Padahal, pertengkaran hingga perpisahan adalah suatu hal
yang tidak bisa dihindari dalam berbagai konsep hubungan, bukan?
Sementara, hanya
tiga itu yang dapat aku jabarkan dari sudut pandang subjektif. Sekali lagi, ini
adalah hipotesa yang kudapat dari mengamati orang-orang yang tenang terhadap
cinta; selain aku juga mengkaji tentang diriku sendiri. Aku tidak menutup
kemungkinan bahwa essay ini sepenuhnya salah atau bahkan sok tahu. Hanya
saja, tulisan ini aku buat atas kekagumanku pada mereka yang terlihat tenang di
dalam gejolak kehidupan percintaannya yang rumit.
Akan tetapi, di sisi
lain, mereka juga terlalu sibuk mencari ketenangan hingga lupa memperhatikan bahwa
jiwanya akan tetap berlubang. Ketenangan tidak menjanjikan jiwa seseorang
lengkap. Aku pikir, kemungkinan yang dapat melengkapi bagian mereka yang hilang
ialah sesuatu yang esensinya selevel dengan jiwa; mungkin istilah normalnya
adalah soulmate (dalam artian luas).
Terlepas dari itu,
tetap saja, orang-orang yang terkekang atas masa lalu, pasti amatlah tersiksa
kehidupannya. Tiap langkah mereka akan selalu didasari pada
pengalaman-pengalaman yang serupa, kemudian kemungkinan akhir dari cerita akan
disesuaikan seperti yang mereka hadapi dahulu. Jika begitu, mungkin anak remaja
juga akan bosan melihat sikap mereka yang sama; cenderung menyedihkan.
Padahal kalau boleh aku dianalogikan, tidak semua cerita picisan berakhir cheesy seperti dugaan subjektif mereka (seperti apa yang telah mereka baca sebelum-sebelumnya). Masih ada plot twist yang menjadikan cerita picisan lain berubah menakjubkan, dan aku percaya setiap orang dapat menentukan plot twist ceritanya masing-masing. Sepertinya aku akan menulis konsep fiktif tentang hal ini juga, namun mungkin ke dalam versi yang lebih sendu.
Komentar
Posting Komentar