Dia yang Tenang Kepada Cinta

keyword: tenang, takdir

        Sore itu di bawah rindangnya pepohonan pendopo besar, Rue memilin ujung bajunya sendiri. Bukan seperti biasanya pada ketika ia pergi ke rumah budaya yang tengah mengadakan pagelaran, ini lebih dari sekadar menikmati sejuk dan indahnya suasana klasik tanah lahirnya. Lebih dari itu, Rue tidak sengaja menemukan seseorang yang mengingatkannya pada masa sekolahan yang lucu.

        Hatinya tentu berdetak kencang secepat tempo musik adu dansa. Namun kepala Rue pun sama kencangnya mengutuk hal yang dinamakan perasaan. Sehingga pada akhirnya, dilema selalu menguasai Rue; di satu sisi ia merasa tidak pantas untuk sekadar melihat presensi lelaki itu; namun di sisi lain, Rue ingin berbicara dengannya. 

        Senyumannya pun bertambah luruh ketika lelaki itu nyatanya masih mengenali seorang Rue yang kini merangkul diri sendiri. Dari kejauhan Rue melihat wajah lelaki itu semringah. Hanya saja, Rue semakin tidak tahu harus senang atau takut. Pikirannya selalu berteriak 'lelaki itu menakutkanayo lari sebelum ditinggalkan.' Sementara hatinya meloncat kegirangan.

        "Kukira perempuan penyuka kafe, gedung bertingkat tinggi, dan film khayalan sepertimu akan abai dengan hal-hal klasik khas kelahirannya. Bagaimana kabarmu?" Lelaki itu tersenyum sembari melontarkan pertanyaan formal.

        "Aku baik. Bagaimana denganmu? Menghabiskan waktu luang di sini?" Entah darimana, Rue sendiri tidak mengerti kenapa suaranya bisa mantap ketika menjawab dan balik bertanya pada lawan bicaranya, meskipun ada senyuman kikuk yang mengakhiri kalimat Rue.

        Lelaki itu tersenyum, menimpali sangat tenang. Namun Rue tak bisa menampik pikiran buruknya, barangkali lelaki itu masih sama mempersepsi Rue sebagai perempuan yang aneh. "Iya, aku menghabiskan waktu, sekaligus mengunjungi temanku yang sedang tampil. Kamu sendiri?"

        "Aku hanya iseng saja." Ada tawa kecut di akhir jawaban Rue. Perempuan itu tahu, kehadirannya dalam rumah budaya sama sekali bukan apa-apa ketimbang keikut-sertaan lelaki di hadapannya dalam melestarikan budaya; sekalipun lelaki itu hanya datang senagai penonton seperti yang lain. Dan kini Rue bingung, katakan sudah hampir 2 tahun mereka tidak bertemu tapi nyatanya lelaki itu selalu tidak pernah gagal untuk menyita perhatian Rue.

        Namun kemudian, dari lelaki itu pula Rue mendapat kejutan melalui pertanyaan yang harusnya jarang dibicarakan oleh 2 orang yang lama tidak bertemu. Dengan enteng, lelaki itu bertanya, "Pacarmu orang mana?"

        "Masih disembunyikan, dan aku bukan pencari. Bagaimana denganmu? Tetap mengungkai istilah yang Kau sebut cinta?" Rue pun tidak bodoh. Ia tahu lelaki itu juga sama sulitnya untuk menyetujui perasaan yang dinamakan cinta.

        "Sepertinya kita cukup tahu dan setuju jika hal itu memang susah diurai. Kau tidak dungu; mengetahui itu dari kegiatanku yang gemar berbudaya. Anggap saja konservatif, tapi mari katakan, Kau juga begitu. Setidaknya sedikit." Kemarin, ketika keduanya harusnya masih mendalami pelajaran; bukan soal cinta-mencinta; lelaki itu memang suka dengan pernyataan-pernyataan berat yang selalu Rue hindari. Dan itu tercermin dalam ucapannya yang membuat Rue malah tersenyum menang. Rue menemukan lelakinya yang dulu. "Apa aku salah?"

        "Jangan bicara tentangku Jalen, semua anak sepakat jika aku aneh. Sementara yang kutahu Kau hanya terjebak dalam kisah cintamu yang dulu, juga tentang ibumu," jawab Rue sok tahu, sebab Jalen akan selalu terlihat bersembunyi dalam kegelisahan. "Apa aku salah?"

        "Kau benar," balas Jalen tersenyum, seraya mengeluarkan sigaret dan pemantik api di sakunya. "boleh?" Kemudian Jalen melanjutkan izinnya; seolah memang lelaki itu adalah orang yang masih sama dengan lelaki yang dulu Rue lihat di sekolah, lelaki yang menjunjung sikap tutur budaya sebagai citranya. Benar-benar Jalen yang sederhana dengan kerinduannya yang serakah.

        Lalu dengan menarik ujung bibir, Rue menertawakan Jalen. Lelaki itu tetap menarik dengan kesombongannya. "Sejak kapan ruang bebas memiliki aturan yang saklek?"

        "Entahlah, menurutku masih ada hak lain yang membuatnya tidak bebas." Jalen pun menjawab santai, seolah sindiran-sindiran sepele tidak akan melukai hatinya. Ia pernah lebih terluka ketimbang ucapan Rue barusan.

        "Ruangan itu, atau dirimu, Jalen?" Dan Rue tahu akan hal itu.

        Lelaki itu memantik api kepada sigaretnya, sementara Rue yang munafik nyatanya menikmati tiap detil kejadiannya dengan Jalen saat ini. Sampai Jalen kembali melihatnya; tersenyum necis dengan sigaret yang diapit kedua jari seraya menyeletuk, "Kau sendiri kenapa tidak mencari pacar?"

        "Entah." Satu pertanyaan itu membuat Rue berpikir, sebagaimana Jalen yang dulu memang suka membuat semua orang berpikir. "Kau sendiri kenapa?"

        Jalen hanya tertawa, kemudian mengisap sigaretnya lagi, sebelum akhirnya berkata, "Aku juga tidak tahu."

        "Kau terlihat bodoh dan menyebalkan," timpal Rue sembari tertawa; membuat senyuman Jalen mengembang lagi sembari membuang asap di mulutnya ke bawah. Barangkali lelaki itu setuju dengan pernyataan Rue.

        "Aku bisa berubah sangat keren, jika aku mau." Kemudian Jalen mengisap sigaretnya lagi, sembari membuat Rue tertawa kecil karena perkataannya. Mereka berdua ini menyedihkan. "Kamu tidak takut menikah di usia tua? Kamu kan perempuan."

        "Tidak sama sekali," timpal Rue tanpa ragu.

        "Kenapa?" Jalen kembali menyesap sigaretnya, serupa penawar bagi pikiran-pikirannya yang rumit.

        "Entah. Kamu sendiri tidak takut? Jangan katakan karena lelaki tidak ada siklus seperti menopause, jadi buat Kamu bebas."

        Jalen kembali tertawa. Rue memang masih tetap aneh dan sepertinya tidak akan berubah. "Kalaupun lelaki punya siklus seperti itu, Aku juga tetap tidak ingin memaksakan untuk menikah. Biar waktu dan tempat yang menyelaraskan diriku dengan pasanganku nanti. Kalau umur 30, 40, 50, atau bahkan seterusnya memang waktuku untuk menikah, ya kenapa tidak."

        "Kau percaya jodoh ternyata. Tapi dia tidak akan datang jika tidak dicari."

        "Betul, tapi kalau sungguhan jodoh, bukan hanya aku saja yang mencari. Dia pun pasti begitu. Dunia ini itu ada-ada saja, memang." Mendengar kotbah Jalen, Rue hanya bisa diam. Perempuan itu merasa kalah dari seorang Jalen yang ternyata sudah dewasa.

        Kembali Rue melihat Jalen mengisap putung sigaretnya, yang membuat Rue tidak mengerti dengan lelaki itu sedari dulu. "Aku tidak mengerti jalan pikirmu. Tapi Jalen, aku setuju dengan pernyataan itu. Karena kukira, aku sedang belajar untuk tidak merisaukan pasangan."

        "Kenapa?" Jalen menoleh pada Rue seketika.

        "Menyukai seseorang dengan keakuan rasanya sangat menyiksa. Tiap detik yang aku pikirkan saat itu hanyalah bagaimana aku bisa bersamanya. Tapi sekarang aku mengerti, mencintai seseorang dengan benar adalah dengan membiarkannya hidup seperti yang dia kehendaki." Sedikit demi sedikit senyuman Rue terangkat mendengar ucapannya sendiri. Sementara Jalen membuang putung rokok dan memadamkan bara apinya. "Aku tidak khawatir dia akan hilang sekarang. Karena jika memang ditakdirkan, maka dia akan menemukan jalannya padaku juga."

        Jalen pun ikut tersenyum senang, bukan karena pernyataan panjang Rue yang ia dengarkan. Melainkan karena perempuan itu telah menemukan dirinya sendiri. "Tenang saja, Rue. Jangan samakan persepsiku padamu dengan yang lain."

Komentar

Postingan Populer